loading…
Penambahan lahan sawit di kawasan hutan tersebut bukanlah kegiatan deforestasi apabila dilakukan di kawasan hutan yang sudah tidak berhutan. FOTO/dok.SINDOnews
Menurutnya, pada 2020 lalu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan ada sekitar 31,8 juta hektare (ha) kawasan hutan yang tidak berhutan atau terdegradasi. Kawasan hutan yang sudah rusak ini, kata Prof Yanto, sebaiknya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dalam rangka menggapai ketahanan pangan maupun ketahanan energi.
Para akademisi yang memiliki latar belakang keilmuan tentang kehutanan, kata Yanto, melakukan kegiatan pertanian di kawasan hutan yang sudah rusak tersebut bukanlah sebagai tindakan deforestasi. “Bukan sama sekali,” kata Prof Yanto Santosa ketika dihubungi, Jumat (10/1/2025).
Namun demikian, Prof Yanto mengingatkan agar kawasan hutan terdegradasi tersebut jangan semuanya ditanami sawit, tapi sebagiannya harus ditanami tanaman hutan unggulan. “Cukup 70%nya saja, sisanya ditanami tanaman hutan unggulan. Contohnya bangkirai, ulin, kayu hitam atau bisa juga meranti,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Prof Yanto, hal ini tidak dinamakan deforestasi. “Jadi pemikiran para LSM dan guru besar yang mengomentari akan terjadi gangguan ekologi, kurang pas itu. Karena hutan yang akan ditanami sawit yang dimaksud oleh Presiden adalah sebetulnya memang hutan yang sudah rusak,” papar Prof Yanto.
Makanya, kata dia, rencana Presiden ini tidak ada hubungannya dengan deforestasi. “Toh lahan yang ditanami tersebut (statusnya) masih kawasan hutan, hanya tanaman dominannya adalah sawit. Lagi pula sawit di tempat asalnya sana (Afrika) sebetulnya kan tanaman hutan?” jelas Prof Yanto.
Sebagai akademisi di bidang kehutanan, Prof Yanto mendukung rencana pemerintah mengoptimalkan lahan tersebut untuk kegiatan pertanian, khususnya perkebunan kelapa sawit.
“Daripada pemerintah tidak sanggup menghutankan kembali, lebih baik ditanami sawit dan tanaman hutan yang proporsinya 70% sawit dan 30% tanaman hutan,” katanya.
Pada kesempatan tersebut Prof Yanto menyayangkan sikap LSM dan beberapa guru besar yang merespon negatif rencana Presiden Prabowo tersebut. Salah satunya surat terbuka yang ditulis Prof Arya Hadi Dharmawan yang ditujukan kepada Presiden Prabowo.